Dalam buku : "Sapa Ary Ginanjar Agustian" Hal.75
Sejarah paling monumental yang menunjukkan jati diri manusia
adalah saat manusia bersaksi, mengakui bahwa Allah adalah Tuhannya. Hal ini
dikukuhkan dengan peristiwa sujudnya malaikat pada Adam setelah ditiupkan ruh.
Ini menunjukkan secara jelas bahwa manusia sesungguhnya dalah makhluk spiritual
yang menjelma menjadi manusia di muka bumi yang akan selalu rindu pada
penciptanya.
Momen itu menjadi bukti bahwa kebutuhan dasar (basic need) manusia sesungguhnya bukan
materi tapi aspek spiritual, sebelum melangkah membangun peradaban. Itu tampak
dalam sejarah, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW selama lima tahun bolak-balik ke
Gua Hira. Begitu Pula ketika Musa selama 40hari berada di Bukit Tursina, atau
Nabi Ibrahim ketika siang-malam terus-menerus mengamati benda-benda angkasa
untuk mencari Tuhannya. Saat itu Muhammad SAW, Musa, dan Ibrahim sesungguhnya
tengah merasakan lapar dahaga spiritualisme. Ketika terjawab tiga pertanyaan
dasar. “Siapa saya, dari mana saya, dan mau ke mana saya” inilah yang
sesungguhnya menjadi basic need
manusia, yang saat ini dinamakan SQ.
Kesalahan besar selama ini adalah tesis yang mengatakan
bahwa basic need manusia adalah
materi. Tesis ini terbantahkan ketika manusia diminta berpuasa selama 30hari di
bulan Ramadhan. Ini adalah suatu upaya untuk menyadarkan bahwa basic need
manusia adalah kesadaran akan dirinya yang sejati. Kesalahan tesis meterialisme
ini melahirkan ras Manusia Non-Manusia.
Begitulah nasib manusia yang terdiri dari materi dan ruh.
Sehingga senantiasa berada dalam dua tarikan antara materialisme dan
spiritualisme. Tulang, daging, dan darah berasal dari tanah, sehingga manusia
cenderung tertarik ke bumi. Rumah, kendaraan, pakaian, dan makanan berasal dari
tanah. Sehingga semua itu seringkali menjadi daya tarik hidup manusia. Sebaliknya,
daya tarik spiritual telah dikalahkan dan dilupakan. Akibatnya manusia
melupakan jati dirinya.
Dengan berpuasa, manusia dilatih untuk menahan diri dari
tarikan materialisme yang begitu kuat, sedemikian rupa, sehingga melupakan
perjanjian dirinya dengan tuhannya sebelum ia dilahirkan ke bumi.
Dengan puasa manusia menyadari bahwa kerinduan sejatinya
adalah menahan tarikan duniawi dan mengikatkan tarikan spiritualisme untuk
kembali ke Tuhannya. Inilah kemenangan jati diri yang sejati.
-Ary Ginanjar Agustian-