Roda
waktu terus berputar. Ramadan demi Ramadan pun akan meninggalkan kita. Bagi
yang memahami makna puasa, maka berlalunya bulan Ramadan adalah melebihi
pedihnya ditinggal kekasih yang dicinta. Kepergian Ramadan meninggalkan sesal,
karena tak memberikan janji akan adanya kesempatan bertemu di masa mendatang.
Apa yang seharusnya dilakukan di bulan Ramadan sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat penting, yaitu melawan dan menghancurkan cengkeraman nafsu. Jiwa manusia seringkali bagaikan intan kemilau yang berbalut berbagai belenggu. Prasangka, masa lalu, cara pandang, prinsip hidup, kepentingan pribadi, lilteratur dan pembanding kerap menjadi penghalang memancar cahaya permata dari nurani manusia. Karena itulah, tugas kita selama Ramadan adalah menggosok sang intan sehingga kemilaunya akan tampak dan menyinari sekitarnya. Cahaya fitrah akan memancar dari jiwa manusia, dialah cahaya kejujuran, cahaya tanggung jawab, cahaya visioner, cahaya disiplin, cahaya kebersamaan, cahaya keadilan, dan cahaya peduli.
Hingga, saat idul fitri, setelah digosok selama 30 hari di bulan Ramadan, jiwa manusia menjadi terang-benderang. Kemilaunya mengalahkan bintang, karena ruh mulia telah bersinar kembali. Ruh yang ada dalam jiwa manusia, yang berasal dari Allah, yang ditiupkan oleh Allah sebelum manusia dibalut materi. Idul Fitri adalah kembalinya manusia pada fitrahnya semula sebagaimana yang dikehendaki Allah. Pertanyaannya, akan dibawa ke mana fitrah diri yang telah bersinar itu?
Dalam
perspektif haji, setelah mengenal diri yang fitrah di Arafah dan melontar
jumroh di Mina, maka seseorang harus bersegera pergi ke Mekkah untuk bertawaf
memurnikan tauhid kepada Allah, membangun spiritual komitmen. Di mekkah inilah
peristiwa monumental penyembelihan ismail oleh Nabi Ibrahim terjadi, sebagai
symbol penyembelihan terhadap kecintaan duniawi selain Allah.
Karena
itu, tembuslah dimensi waktu, bersegeralah berjalan menuju Idul Adha, untuk
membangun komitmen dan berprinsip pada kalimat : Laa Ilaah Illallaah.
Fitrah yang sudah bersinar sesungguhnya
bukan untuk kebanggaan diri dan bukan pula untuk materialism. Semua potensi
diri hanya untuk Allah, melalui keluarga, masyarakat, perusahaan, bangsa, dan
negera.
0 komentar:
Posting Komentar