Levi Strauss, pemilik pabrik raksasa pembuat pakaian
jadi, menghadapi dilema sehubungan dengan dua sub-kontraktor jahitnya di
Bangladesh yang menggunakan tenaga kerja di bawah umur. Para aktivis HAM
Internasional terus menekan Levi Strauss untuk tidak lagi membolehkan kedua
kontraktor itu menggunakan pekerja di bawah umur. Namun, investigator
perusahaan menemukan bahwa jika anak-anak tersebut kehilangan pekerjaan, mereka
kemungkinan besar akan jatuh miskin dan berpeluang untuk jatuh ke lembah
prostitusi. Haruskah perusahaan memecat mereka? Solusi kreatifnya, Levi Strauss
memutuskan untuk tidak mencoret nama anak-anak itu dari daftar upah, sementara
mereka tetap bersekolah secara paruh waktu. Ketika usia mereka mencapai 14
tahun, perusahaan akan menarik mereka untuk bekerja secara penuh kembali.
Itulah contoh keputusan saat
situasi rumit ketika Levi Strauss menggabungkan beberapa dorongan suara hati,
yaitu dorongan ingin memelihara—ketika harus mempertahankan eksistensi
perusahaan; dorongan ingin melindungi—ketika harus mencegah anak-anak dari
kemiskinan dan prostitusi; juga dorongan untuk memberikan upah dan pekerjaan
kepada anak-anak. Dalam memutuskan masalah tersebut, Levi Strauss bersikap adil
dan bijaksana. Itulah yang dimaksud dengan 99 Circular Thinking.
Timbulnya perbedaan pada tiap
orang saat menentukan suara hati mana yang harus diikuti, adalah karena
perbedaan dalam menghayati Rukun Iman, melaksanakan Rukun Islam dan berihsan.
“Bahkan
manusia akan jadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun ia mengemukakan
dalil-dalilnya.” QS Al-Qiyamah (Hari Kiamat) 75:14-15